Selasa, 24 November 2009

Warung Bakso Bu Ijah




“Jadi, tugas kalian minggu depan adalah bikin laporan penelitian tentang suatu masalah. Temanya bebas, tapi kalian harus selidiki dulu masalah itu, baru susun laporannya. Ngerti, anak-anak?” tanya Bu Rita, guru Bahasa Indonesia Luna pada akhir jam pelajaran.
“Iya, Bu!” sahut murid-murid serentak. Bu Rita segara mengumpulkan buku-bukunya yang bertebaran di atas meja, memasukkannya ke dalam tas dan melangkah keluar kelas sambil menenteng tasnya. Luna menoleh kepada teman sebangkunya, Lita, yang bukannya bersemangat malah menguap dengan tampang bosan.
“Ta, nanti lo mau bikin laporan tentang apa?” tanya Luna antusias.
Lita menguap lagi sebelum menjawab.
“Apa saja deh! Pokoknya yang enggak ribet. Mungkin gue bakal selidikin kenapa murid-murid di sekolah kita sering bolos. Kalau lo gimana?”
“Gue jelas bakal nyelidikin murid-murid yang katanya hilang di sekolah kita itu!” seru Luna tanpa berpikir lama-lama.
Sekolah mereka memang dilanda teror menghebohkan. Belakangan ini lima orang anak berturut-turut dilaporkan hilang tanpa jejak. Orangtua mereka sangat panik dan sudah mengaduhkan tragedi itu ke kantor polisi. Tapi meskipun seluruh bagian sekolah mulai dari perpustakaan, kantin, laboratorium, sampai kamar mandi telah di geledah, kelima murid tersebut masih belum bisa di temukan. Tentu saja misteri itu menarik perhatian Luna yang sudah lama berambisi menjadi detektif.
“Ya ampun, Na! Harapan lo tinggi banget sih! Polisi saja enggak berhasil. Kenapa lo berpikir lo akan tahu kemana perginya kelima anak itu?”
“Lebih baik gagal daripada enggak mencoba sama sekali,” kata Luna yakin. Lita memutar bola matanya.
“Yah… kalau gitu hati-hati saja. Jangan sampai lo jadi yang keenam. Kalau lo enggak ada, terus gue nyonteknya sama siapa dong?” cengirnya.
Luna mengacuhkan ledekan sahabatnya dan mulai mengadakan penelitian hari itu juga. Setelah semua murid pulang kerumah masing-masing, dia malah memutar langkah ke belakang sekolah menuju kantin.
“Saksi utama,” gumamnya sambil berjalan, memegang notebook dan menuliskan daftar orang-orang yang harus dia wawancarai. “Bu Ijah, penjaga kantin.”
Ketika Luna tiba di kantin, Bu Ijah tengah sibuk melayani pesanan para pelanggan. Semua murid yang menyempatkan diri makan di tempat itu sebelum pulang, tengah asyik melahap bakso Bu Ijah yang sudah tersohor kelezatannya. Warung bakso Bu Ijah memang sudah lama jadi tempat makan favorit, karena meskipun makanannya enak, harga semangkuk bakso di warung itu dijual sesuai dengan kocek anak-anak sekolah yang serba cekak.
“Maaf, Bu Ijah?” katanya, begitu dia sudah duduk di salah satu meja. “Luna boleh ngomong sebentar, nggak?”
“Sebentar ya, Neng,” ujarnya ramah, menyodorkan semangkuk bakso kepada pelanggan terakhir, melepas celemek dan menghampiri meja Luna, “Ada apa, Neng?”
“Duduk dulu, Bu,” dia mempersilakan. Buku dan pulpen siap di tangan dan begitu Bu Ijah duduk, Luna segera memulai proses interogasi. “Bu Ijah, Luna kan dikasih tugas bikin laporan penelitian, terus Luna berniat meneliti penyebab hilangnya kelima orang murid di sekolah ini. Nah, Ibu kan tinggal di belakang sekolah, ibu tahu enggak kemana perginya murid-murid itu?”
Bu Ijah terkikik geli.
“Eneng itu nanyanya sudah kayak polisi saja,” kikiknya, menampakkan giginya yang sudah tidak lengkap lagi. “Enggak kok, Neng. Ibu nggak pernah tahu kemana anak-anak itu pergi. Lagian Neng kalau mau bikin laporan, mbok neliti yang mudah-mudah saja toh, contohnya, kenapa harga daging sekarang ini bisa jadi mahal banget? Ibu hampir nggak bisa ambil untung lagi nih. Coba kamu dengar di TV-TV apa dampaknya. Ada orang yang jual bakso pakai daging tikus.”
“Ih jijik, ya? Lagian tikus kan dagingnya cuma sedikit. Jadi lebih baik Neng Luna bikin laporan tentang dampak kenaikan BBM saja buat pemerintah, siapa tahu harga daging bisa turun lagi.”
Luna langsung bengong mendengar Bu Ijah malah berkoar tanpa henti tentang kenaikan harga daging. Benar-benar narasumber yang tidak bisa di harapkan, keluhnya dalam hati, menatap notebook nya yang masih kosong.
“Ya sudah, kalau gitu Luna pesan bakso saja deh,” ujarnya kecewa, memasukkan buku dan bolpoinnya kadalam tas, bertekad untuk melanjutkan penyelidikan itu besok.
“Iya, Neng,” sahut Bu Ijah sigap, bergegas ke balik konter, memakai celemeknya lagi dan mulai membuatkan pesanan Luna.
Belum sempat Luna berpikir siapa yang harus diwawancarai besok, Bu Ijah sudah datang dan menyuguhkan semangkuk bakso mengepul bersama segelas air.
“Pak satpam!” gumamnya, lalu mencaplok sesendok bakso. Luna tiba-tiba tersedak. Bihun dan serpihan bakso keluar dari mulutnya ketika dia terbatuk-batuk. Untung Luna buru-buru menyambar segelas air dan meminumnya.
“Ada apaan sih?” keluhnya pada diri sendiri, menatap sisa-sisa muntahannya.
Ternyata ada segumpal rambut di antara potongan bakso-bakso itu. Benar-benar jorok! Terlalu lapar untuk peduli, Luna akhirnya mengabaikan rambut itu dan kembali melahap baksonya.
Tiga hari setelah Bu Rita menugaskan pembuatan laporan penelitian, Luna mulai hilang harapan. Dia sudah menginterogasi guru-guru, satpam, penjaga perputakaan bahkan kepala sekolah untuk mencari tahu sebab musabab hilangnya kelima murid itu. Namun hasilnya tetap nihil. Keputusasaannya semakin bertambah begitu Lita dengan bangga memamerkan laporannya tentang penyebab bolos siswa kepada Luna tadi pagi.
Seperti biasanya, sepulang sekolah Luna nongkrong di kantin sambil melahap semangkuk bakso. Dia mulai panik tugasnya tidak selesai selewat batas waktu yang telah di tentukan. Memangnya kemana sih anak-anak itu? Masak mereka bisa tiba-tiba lenyap di telan bumi. Mencucuk baksonya dengan garpu, dia menatap Bu Ijah yang sedang mencuci piring. Mungkin dia benar. Luna sebaiknya memilih topik lain yang lebih mudah diselidiki. Kenaikan harga BBM juga lumayan menarik.
Kantin sudah sepi ketika Luna menghabiskan baksonya, bangkit dari kursi lalu menghampiri Bu Ijah dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepadanya.
“Makasih, Neng,” ujarnya lembut, mengulurkan uang kembalian.
“Sama-sama, Bu,” balas Luna. “Belum tutup, Bu?”
“Iya. Ini baru saja mau tutup,” katanya. “Hati-hati di jalan ya, Neng!”
Luna pun melangkah dengan gontai menuju gerbang sekolah sambil memasukan uang kembalian ke dalam saku kemejanya. Kening Pak Badrun, Satpam sekolah, pun langsung berkerut-kerut melihatnya.
“Kenapa kamu masih disini?” tanyanya cemas. “Kan kepala sekolah sudah bikin peraturan baru. Murid-murid enggak boleh masih ada di sekolah selewat jam empat sore! Memangnya kamu enggak takut ikut hilang kayak murid-murid yang dulu?”
“Ah, Bapak khawatir banget sih!” Luna memutar bola matanya.
Luna terlonjak kaget. Dia baru menyadari bahwa tas gemblok tak ada lagi menempel di punggungnya.
“Aduh! ketinggalan di kantin!” Dia menepuk dahi. Buru-buru berbalik dan berseru. “Gerbangnya jangan di tutup dulu ya, Pak?”
Pak Badrun mengawasinya berlari dengan wajah cemberut. Luna mengabaikan kecemasan si penjaga sekolah dan terus berlari menyeberangi lapangan upacara, kelas-kelas kosong dan tiba di halaman sekolah. Tapi sayangnya, warung bakso itu sudah di kunci begitu dia sampai.
“Bu Ijah!” serunya, menggedor-gedor pintu. “Bu Ijah, tas Luna ketinggalan di dalam! Buka dulu dong!”
Namun tak ada yang membukakan. Luna mulai berpikir untuk mengambilnya besok pagi saja. Tapi begitu menoleh ke samping, dia langsung mengurungkan niatnya. Rumah Bu Ijah bersebelahan dengan kantin, kenapa tidak mampir saja untuk memintanya mengambilakan tas. Luna pun beralih menggedor-gedor pintu rumah.
Pintu rumah itu tidak terkunci dan langsung membuka sendiri begitu Luna menggedornya.
“Bu Ijah, Luna masuk ya?” serunya keras-keras, tapi tetap tak terdengar jawaban.
Luna pun melangkah ke dalam. Rumah itu kecil dan penuh sesak dengan barang-barang. Ada oven tua berkarat, televisi yang layarnya sudah retak dan sekumpulan alat masak kuno. Lantai papannya di lapisi karpet berdebu. Luna terus berjalan masuk sampai…
“Ouch!” Dia tersandung tepi karpet yang sedikit menggulung. Memaki pelan, dia bangkit berdiri. Matanya menangkap sebentuk pintu tingkap yang terlihat di balik karpet yang tersingkap akibat di sandung Luna tadi. Didera rasa penasaran, Luna akhirnya menarik tepi papan dan menemukan tangga menuju ruang bawah tanah.
Jantungnya langsung berdebar kencang. Ruang apa itu? Tak ada seorang pun di sekolah Luna yang tahu bahwa Bu Ijah memiliki ruang bawah tanah di rumahnya. Menoleh kanan kiri dan tidak melihat siapa-siapa, Luna akhirnya memberanikan diri menuruni tangga itu.
Bau busuk yang menyengat menyerang hidung begitu dia tiba di ruang bawah tanah berpenerangan lilin itu. Di sudut ada mesin giling tua dan baskom berukuran besar yang penuh berisi daging kemerahan. Luna melintasi ruangan, memandang ingin tahu gundukan-gundukan gelap di samping mesin giling.
Dan jantungnya terasa mau copot begitu melihat sosok-sosok yang sudah tak berbentuk itu. Seragam SMA mereka yang koyak penuh darah telah di lemparkan ke samping. Tulang-tulang berserakan di antara tubuh-tubuh rusak yang tak bisa di kenali lagi. Luna menatap mesin giling lagi dan tiba-tiba saja dia mengerti.
Harga daging yang mahal… Penjual bakso lain menggunakan daging tikus… Rambut yang pernah dia temukan dalam baksonya…
Dia mendekap mulut menahan muntah. Tubuhnya di banjiri keringat dingin.
“Kamu akan jadi bakso yang sangat lezat, Luna!” kata suara di belakangnya.
Luna berbalik. Hal terakhir yang dilihatnya adalah bu Ijah menyabetkan penggilas adonan ke arahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar