Senin, 15 Februari 2010







Read More..

Senin, 25 Januari 2010

PERSIAPAN MENGHADAPI UJIAN NASIONAL


Seperti yang kita ketahui, bahwa ujian nasional sebentar lagi. Saya sebagai siswa yang akan menjalaninya telah berusaha semaksimal mungkin demi mencapai hasil yang terbaik.
Sekarang saya sudah mempelajari materi materi yang akan diujikan.
Tidak terasa besok kami sudah menghadapi try out. Kami sudah siap mengikutinya. Sebelum menghadapi try out, sekolah kami mengadakan les setiap hari kecuali hari Jum'at.
Sebagai pelajar yang akan mengikuti ujian, saya juga tidak lupa berdo'a untuk diberikan ketabahan dalam menjalani ujian ini.
Semoga pada tahun ini kami semuanya lulus 100%.
Kepada teman - teman yang lain, jangan lupa belajar. Persiapkan lah diri kalian dari sekarang, supaya kalian tidak menyesal apabila ada kajadian yang tidak menyenangkan.
Dan kepada guru - guru, jangan lah lelah untuk memberikan ilmu kepada kami. Jasa mu tidak akan terlupakan di sepanjang hidup kami. Terimakasih Guru ku.


Read More..

Kamis, 03 Desember 2009

Pohon dari Kisah Masa Lalu



• Pohon Maja
Maja yang Tidak Pahit

Jika menyebut nama tanaman ini, pasti langsung teringat kerajaan Majapahit. Tak heran, buah pohon maja sering disangka pahit. Padahal, sih, maja tidak pahit.
Pohon maja termasuk tumbuhan tahan banting. Pohon ini bisa tumbuh pada suhu 49°C sampai -7°C. pohon ini juga bisa tumbuh sampai ketinggian 1200 m diatas permukaan laut. Tanah kering atau rawa bukan halangan bagi maja untuk tumbuh.
Maja ditanam untuk diambil buahnya. Buah maja bisa dimakan. Rasanya manis. Maklum, maja masih termasuk keluarga jeruk-jerukan. Dibuat sirop atau selai juga bisa, lo.
Konon, Raden Wijaya menamakan kerajaannya Majapahit karena ditempat itu prajuritnya pernah makan buah maja yang pahit. Hm… mungkin buah maja yang dimakan belum matang. Tentu saja, rasanya pahit!

• Pohon Lontar
Lontar yang Banyak Gunanya

Pohon yang tingginya bisa mencapai 30 m ini termasuk keluarga tanaman palma. Daun-daunnya yang seperti kipas tumbuh di puncak pohon. Tanaman ini banyak dijumpai di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kini, lontar sudah jarang dipakai sebagai kertas. Namun, jangan kita lupakan. Sebab lontar banyak gunanya. Mulai dari ujung atas sampai ujung bawah bagian pohon ini bisa digunakan.
Daun-daun lontar masih digunakan unutk bahan pembuat tikar, tas, aneka kerajinan, dan juga sasando (alat musik tradisional Timor). Buah lontar enak, lo. Sepintas memang mirip kolang-kaling. Tetapi, rasanya lebih enak. Tongkol bunga betinanya bisa disadap dan diolah menjadi gula atau minuman. Serat dari pelepah daun dan tangkai bisa manjadi bahan menenun. Terakhir, batang lontar yang keras bisa dijadikan bahan bangunan juga kerajinan.
Selain banyak gunanya, lontar juga banyak nama. Ia disebut tua oleh masyarakat Timor, disebut juntal oleh orang Sumbawa, lontara oleh orang Toraja, lontoir oleh orang Ambon, atau taal oleh orang Madura.

• Pohon Bodhi dan pohon Beringin
Pohon yang Melindungi

Pada candi Borobudur atau juga di Prambanan terukir kalpataru. Kalpa berarti kehidupan. Taru berarti pohon. Ah, seperti apa pohon kehidupan yang digambarkan rimbun dan tempat berteduh banyak makhluk itu?
Ternyata kalpatru hanya symbol saja. Tak ada pohon yang bernama kalpataru. Hanya saja, berdasarkan artinya, ada beberapa pohon yang disamakan dengan kalpataru. Yaitu, pohon bodho dan pohon beringin.
Pohon bohdi yang besar bisa kita lihat di halaman candi Borobudur. Kalau pohon beringin, cukup sering kita lihat, bukan? Kedua pohon itu memang besar sehingga bisa menjadi tempat berteduh dan tempat tinggal aneka makhluk hidup.



Read More..

Selasa, 24 November 2009

Warung Bakso Bu Ijah




“Jadi, tugas kalian minggu depan adalah bikin laporan penelitian tentang suatu masalah. Temanya bebas, tapi kalian harus selidiki dulu masalah itu, baru susun laporannya. Ngerti, anak-anak?” tanya Bu Rita, guru Bahasa Indonesia Luna pada akhir jam pelajaran.
“Iya, Bu!” sahut murid-murid serentak. Bu Rita segara mengumpulkan buku-bukunya yang bertebaran di atas meja, memasukkannya ke dalam tas dan melangkah keluar kelas sambil menenteng tasnya. Luna menoleh kepada teman sebangkunya, Lita, yang bukannya bersemangat malah menguap dengan tampang bosan.
“Ta, nanti lo mau bikin laporan tentang apa?” tanya Luna antusias.
Lita menguap lagi sebelum menjawab.
“Apa saja deh! Pokoknya yang enggak ribet. Mungkin gue bakal selidikin kenapa murid-murid di sekolah kita sering bolos. Kalau lo gimana?”
“Gue jelas bakal nyelidikin murid-murid yang katanya hilang di sekolah kita itu!” seru Luna tanpa berpikir lama-lama.
Sekolah mereka memang dilanda teror menghebohkan. Belakangan ini lima orang anak berturut-turut dilaporkan hilang tanpa jejak. Orangtua mereka sangat panik dan sudah mengaduhkan tragedi itu ke kantor polisi. Tapi meskipun seluruh bagian sekolah mulai dari perpustakaan, kantin, laboratorium, sampai kamar mandi telah di geledah, kelima murid tersebut masih belum bisa di temukan. Tentu saja misteri itu menarik perhatian Luna yang sudah lama berambisi menjadi detektif.
“Ya ampun, Na! Harapan lo tinggi banget sih! Polisi saja enggak berhasil. Kenapa lo berpikir lo akan tahu kemana perginya kelima anak itu?”
“Lebih baik gagal daripada enggak mencoba sama sekali,” kata Luna yakin. Lita memutar bola matanya.
“Yah… kalau gitu hati-hati saja. Jangan sampai lo jadi yang keenam. Kalau lo enggak ada, terus gue nyonteknya sama siapa dong?” cengirnya.
Luna mengacuhkan ledekan sahabatnya dan mulai mengadakan penelitian hari itu juga. Setelah semua murid pulang kerumah masing-masing, dia malah memutar langkah ke belakang sekolah menuju kantin.
“Saksi utama,” gumamnya sambil berjalan, memegang notebook dan menuliskan daftar orang-orang yang harus dia wawancarai. “Bu Ijah, penjaga kantin.”
Ketika Luna tiba di kantin, Bu Ijah tengah sibuk melayani pesanan para pelanggan. Semua murid yang menyempatkan diri makan di tempat itu sebelum pulang, tengah asyik melahap bakso Bu Ijah yang sudah tersohor kelezatannya. Warung bakso Bu Ijah memang sudah lama jadi tempat makan favorit, karena meskipun makanannya enak, harga semangkuk bakso di warung itu dijual sesuai dengan kocek anak-anak sekolah yang serba cekak.
“Maaf, Bu Ijah?” katanya, begitu dia sudah duduk di salah satu meja. “Luna boleh ngomong sebentar, nggak?”
“Sebentar ya, Neng,” ujarnya ramah, menyodorkan semangkuk bakso kepada pelanggan terakhir, melepas celemek dan menghampiri meja Luna, “Ada apa, Neng?”
“Duduk dulu, Bu,” dia mempersilakan. Buku dan pulpen siap di tangan dan begitu Bu Ijah duduk, Luna segera memulai proses interogasi. “Bu Ijah, Luna kan dikasih tugas bikin laporan penelitian, terus Luna berniat meneliti penyebab hilangnya kelima orang murid di sekolah ini. Nah, Ibu kan tinggal di belakang sekolah, ibu tahu enggak kemana perginya murid-murid itu?”
Bu Ijah terkikik geli.
“Eneng itu nanyanya sudah kayak polisi saja,” kikiknya, menampakkan giginya yang sudah tidak lengkap lagi. “Enggak kok, Neng. Ibu nggak pernah tahu kemana anak-anak itu pergi. Lagian Neng kalau mau bikin laporan, mbok neliti yang mudah-mudah saja toh, contohnya, kenapa harga daging sekarang ini bisa jadi mahal banget? Ibu hampir nggak bisa ambil untung lagi nih. Coba kamu dengar di TV-TV apa dampaknya. Ada orang yang jual bakso pakai daging tikus.”
“Ih jijik, ya? Lagian tikus kan dagingnya cuma sedikit. Jadi lebih baik Neng Luna bikin laporan tentang dampak kenaikan BBM saja buat pemerintah, siapa tahu harga daging bisa turun lagi.”
Luna langsung bengong mendengar Bu Ijah malah berkoar tanpa henti tentang kenaikan harga daging. Benar-benar narasumber yang tidak bisa di harapkan, keluhnya dalam hati, menatap notebook nya yang masih kosong.
“Ya sudah, kalau gitu Luna pesan bakso saja deh,” ujarnya kecewa, memasukkan buku dan bolpoinnya kadalam tas, bertekad untuk melanjutkan penyelidikan itu besok.
“Iya, Neng,” sahut Bu Ijah sigap, bergegas ke balik konter, memakai celemeknya lagi dan mulai membuatkan pesanan Luna.
Belum sempat Luna berpikir siapa yang harus diwawancarai besok, Bu Ijah sudah datang dan menyuguhkan semangkuk bakso mengepul bersama segelas air.
“Pak satpam!” gumamnya, lalu mencaplok sesendok bakso. Luna tiba-tiba tersedak. Bihun dan serpihan bakso keluar dari mulutnya ketika dia terbatuk-batuk. Untung Luna buru-buru menyambar segelas air dan meminumnya.
“Ada apaan sih?” keluhnya pada diri sendiri, menatap sisa-sisa muntahannya.
Ternyata ada segumpal rambut di antara potongan bakso-bakso itu. Benar-benar jorok! Terlalu lapar untuk peduli, Luna akhirnya mengabaikan rambut itu dan kembali melahap baksonya.
Tiga hari setelah Bu Rita menugaskan pembuatan laporan penelitian, Luna mulai hilang harapan. Dia sudah menginterogasi guru-guru, satpam, penjaga perputakaan bahkan kepala sekolah untuk mencari tahu sebab musabab hilangnya kelima murid itu. Namun hasilnya tetap nihil. Keputusasaannya semakin bertambah begitu Lita dengan bangga memamerkan laporannya tentang penyebab bolos siswa kepada Luna tadi pagi.
Seperti biasanya, sepulang sekolah Luna nongkrong di kantin sambil melahap semangkuk bakso. Dia mulai panik tugasnya tidak selesai selewat batas waktu yang telah di tentukan. Memangnya kemana sih anak-anak itu? Masak mereka bisa tiba-tiba lenyap di telan bumi. Mencucuk baksonya dengan garpu, dia menatap Bu Ijah yang sedang mencuci piring. Mungkin dia benar. Luna sebaiknya memilih topik lain yang lebih mudah diselidiki. Kenaikan harga BBM juga lumayan menarik.
Kantin sudah sepi ketika Luna menghabiskan baksonya, bangkit dari kursi lalu menghampiri Bu Ijah dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepadanya.
“Makasih, Neng,” ujarnya lembut, mengulurkan uang kembalian.
“Sama-sama, Bu,” balas Luna. “Belum tutup, Bu?”
“Iya. Ini baru saja mau tutup,” katanya. “Hati-hati di jalan ya, Neng!”
Luna pun melangkah dengan gontai menuju gerbang sekolah sambil memasukan uang kembalian ke dalam saku kemejanya. Kening Pak Badrun, Satpam sekolah, pun langsung berkerut-kerut melihatnya.
“Kenapa kamu masih disini?” tanyanya cemas. “Kan kepala sekolah sudah bikin peraturan baru. Murid-murid enggak boleh masih ada di sekolah selewat jam empat sore! Memangnya kamu enggak takut ikut hilang kayak murid-murid yang dulu?”
“Ah, Bapak khawatir banget sih!” Luna memutar bola matanya.
Luna terlonjak kaget. Dia baru menyadari bahwa tas gemblok tak ada lagi menempel di punggungnya.
“Aduh! ketinggalan di kantin!” Dia menepuk dahi. Buru-buru berbalik dan berseru. “Gerbangnya jangan di tutup dulu ya, Pak?”
Pak Badrun mengawasinya berlari dengan wajah cemberut. Luna mengabaikan kecemasan si penjaga sekolah dan terus berlari menyeberangi lapangan upacara, kelas-kelas kosong dan tiba di halaman sekolah. Tapi sayangnya, warung bakso itu sudah di kunci begitu dia sampai.
“Bu Ijah!” serunya, menggedor-gedor pintu. “Bu Ijah, tas Luna ketinggalan di dalam! Buka dulu dong!”
Namun tak ada yang membukakan. Luna mulai berpikir untuk mengambilnya besok pagi saja. Tapi begitu menoleh ke samping, dia langsung mengurungkan niatnya. Rumah Bu Ijah bersebelahan dengan kantin, kenapa tidak mampir saja untuk memintanya mengambilakan tas. Luna pun beralih menggedor-gedor pintu rumah.
Pintu rumah itu tidak terkunci dan langsung membuka sendiri begitu Luna menggedornya.
“Bu Ijah, Luna masuk ya?” serunya keras-keras, tapi tetap tak terdengar jawaban.
Luna pun melangkah ke dalam. Rumah itu kecil dan penuh sesak dengan barang-barang. Ada oven tua berkarat, televisi yang layarnya sudah retak dan sekumpulan alat masak kuno. Lantai papannya di lapisi karpet berdebu. Luna terus berjalan masuk sampai…
“Ouch!” Dia tersandung tepi karpet yang sedikit menggulung. Memaki pelan, dia bangkit berdiri. Matanya menangkap sebentuk pintu tingkap yang terlihat di balik karpet yang tersingkap akibat di sandung Luna tadi. Didera rasa penasaran, Luna akhirnya menarik tepi papan dan menemukan tangga menuju ruang bawah tanah.
Jantungnya langsung berdebar kencang. Ruang apa itu? Tak ada seorang pun di sekolah Luna yang tahu bahwa Bu Ijah memiliki ruang bawah tanah di rumahnya. Menoleh kanan kiri dan tidak melihat siapa-siapa, Luna akhirnya memberanikan diri menuruni tangga itu.
Bau busuk yang menyengat menyerang hidung begitu dia tiba di ruang bawah tanah berpenerangan lilin itu. Di sudut ada mesin giling tua dan baskom berukuran besar yang penuh berisi daging kemerahan. Luna melintasi ruangan, memandang ingin tahu gundukan-gundukan gelap di samping mesin giling.
Dan jantungnya terasa mau copot begitu melihat sosok-sosok yang sudah tak berbentuk itu. Seragam SMA mereka yang koyak penuh darah telah di lemparkan ke samping. Tulang-tulang berserakan di antara tubuh-tubuh rusak yang tak bisa di kenali lagi. Luna menatap mesin giling lagi dan tiba-tiba saja dia mengerti.
Harga daging yang mahal… Penjual bakso lain menggunakan daging tikus… Rambut yang pernah dia temukan dalam baksonya…
Dia mendekap mulut menahan muntah. Tubuhnya di banjiri keringat dingin.
“Kamu akan jadi bakso yang sangat lezat, Luna!” kata suara di belakangnya.
Luna berbalik. Hal terakhir yang dilihatnya adalah bu Ijah menyabetkan penggilas adonan ke arahnya.


Read More..

Senin, 23 November 2009

SMP N 1 Sambas

Kami adalah siswa SMP N 1 Sambas. Sekarang kami duduk di kelas 9. Awal pertama saya masuk di sekolah tersebut, saya mencoba beradaptasi dengan lingkungannya dan juga guru-guru yang mengajar. Mereka semua sangat ramah.
Cara para guru yang mengajar di sekolah tersebut juga cukup beragam. Ada yang menyampaikan materi sambil bercerita, ada yang menjelaskan sampai siswa-siswanya lakukan juga untuk menjadikan anak didiknya menjadi siswa teladan dan berprestasi.
Sekolah SMP N 1 Sambas sangat luas. Walaupun beberapa dari bangunan tersebut sudah tua, tetapi masih tetap kokoh. Halamannya sangat luas, dan dikelilingi bunga-bunga. SMP N 1 Sambas mempunyai perpustakaan cukup besar. Dan sekarang ini sekolah kami sedang menuju Sekolah Standar Nasional ( SSN ). Jadi, sekarang sekolah kami sedang berbenah dalam hal fisik, seperti merehap kantin, menambah beberapa ruangan, dll.
SMP N 1 juga telah meraih benyak prestasi terutama dalam bidang olahraga dan LMP. Telah banyak piala yang terkumpul dari prestasi tersebut.
Selain itu sekolah kami juga menyediakan fasilitas yang lengkap dan juga aturan-aturan yang dibuat sangat bagus karena bertujuan demi kepentingan bersama, terutama murid-murid, agar menjadi anak yang teladan dan disiplin.
Read More..

Senin, 05 Oktober 2009

PERBANYAK EVEN DAERAH

Guys pada tahu nggak apa itu seni tradisional? Well, sebnarnya seni tradisional merupakan gabungan dari kata kesenian dan tradisional, dimana kesenian merupakan salah satu unsur yang merupakan bagian hidup dari suku tertentu, sedangkan tradisionalnya nih merupakan salah satu tingkah laku yang keluar secara alamiah, sejak zamannya nenek moyang dulu. Nggak heran deh jika di Negara kita tercinta ini, banyak sekali kesenian-kesenian daera. Kayak lagu dari Sabang sampai Merauke gitu deh.
Nah, kesenian daerah tersendiri bisa kita lihat nggak hanya secara langsung lho. Malahan nih sekarang sudah banyak stasiun-stasiun televisi swasta yang menayangkan beberapa kesenian tradisional, misalnya nih lenong and wayang golek yang masih hidup tetap eksis hingga sekarang. Tapi sekarang kenyataannya banyak lho para muda-mudi yang sudah mennggalkan kesenian tradisional dengan mendatangkan kesenian modern yang kelihatannya lebih indah dan menarik. Kalau seperti ini gimana nih nasib kesenian tradisional negara kita yang emang sudah tertanam sejak dahulu? Kira-kira dari sekian banyak muda-mudi nih, ada nggak ya yang mempunyai solusi untuk tetap melestarikan kesenian tadisional? Yuk, kita dengerin comment mereka semua.
Kali ini ada Ryan Pramika. Cowok yang akrab disapa Ryan ini mengaku jika dirinya pribadi mempunyai solusi yang amat tepat untuk tetap melestarikan kesenian tradisional agar tidak punah.Z" Kita bisa mulai dengan mengadakan pertunjukan Tari daerah disekolah kita. Dengan cara ini kita dapat mengenalkan tarian daerah kepada seluruh penjuru sekolah" ucapnya. Selain itu, Ryan juga punya solusi cadangan jika solusi pertama nggak berhasil, mungkin bisa juga diadakan expo about kesenian di museum Negri. Nah, dari situ mungkin kita bisa belajar bagaimana caranya kita untuk tetap mencintai kesenian tradisional.
Hal serupa juga diamini oleh Randa Reynaldi. Cowok yang tercatat sebagai siswa SMA Negeri 7 ini juga lebih setuju jika di adakannya sosialisasi ke sekolah-sekolah. Emangnya kenapa sih? " Coz, kesenian tradisional itu nggak ada matinya. Soalnya gimana coba kita mau mempromosikan asset kesenian kita keluar negri kalau bangsanya sendiri aja malu and nggak peduli ama kesenian bangsanya sendiri," usainya ketus. Contohnya aja nih, banyak asset negara kita yang diambil oleh Negara lain, " Pemerintah kayaknya nggak serius deh melindungi asset budaya kita. Percuma juga punya kesenian daerah yang banyak , tapi nggak dilestarikan. Nanti kalo udah diklaim Negara lain, baru deh heboh," kecamnya.
Berbeda dengan Randa diatas, Eddy Januardy justru bilang kalo pemerintah sudah cukup serius melestarikan kesenian. Kok bisa ngomong begitu dia? Emank kamu liat dari mana? " Yaiyalah, secara sekarang kita bisa tetap nonton acara kesenian melalui media elektronik. Mungkin dengan beginilah, salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan kesenian daerah," ucapnya.
Well, masing-masing orang pastinya punya hak dan cara tersendiri untuk melestarikan kesenian tradisional. Tapi ang jelas kalo kita ngerasa anak bangsa, pastinya kita malu kalau nggak peduli apa kesenian Negara sendiri. Jadi, cintailah katya anak negrimu sendiri,yaa guys!!!! Read More..